Kamis, 24 Februari 2011

BERAGAMA APAKAH NABI MUHAMMAD SEBELUM MASUK ISLAM?

BY DAKWAH ISLAMI

    Apakah agama yang dipeluk oleh nabi Muhammad SAW. sebelum menjadi seorang Rasul?.Tentunya banyak di antara kita yang ingin mengetahuinmya bukan?.

[QS 5:3] ………….. Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni’mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. ……

    Kita tahu bahwa orang Hindhu pernah menyinggahi Arab. Kita juga tahu ada komunitas Yahudi dan Kristen banyak yang tinggal di semenanjung Arab ketika Nabi masih hidup. Tetapi kita tidak tahu apa agama asli orang Arab saat itu. Yang jelas saat itu bangsa Arab mengalami kemerosotan moral dan hidup dalam masa Jahiliyah.
    Jika kita berpendapat nabi Muhammad beragama Yahudi, Kristen, Hindu, atao Zoroaster sekalipun maka itu tidaklah mungkin. Ada beberapa alasan yang mendasarinya :
  1. Nabi dikenal orang yang buta agama dan buta huruf
  2. Agama yang datang sebelumnya memiliki kesamaan yaitu sudah tidak murni Tauhid
    Jadi apakah agama nabi sebelumnya?. Jawabannya kemungkinan “Agnostic yang hanif”, yaitu percaya adanya Tuhan yang menciptakan langit dan bumi tetapi perilakunya humanis religius.
   Dan ada suatu kecenderungan bahwa pendiri agama-agama besar di dunia ini sebenarnya pada saat sebelumnya adalah seorang Agnostic yang humanis religius. Karena ada juga agnostic yang tidak humanis relgius.
    Nabi Muhammad mendapat wahyu Al-Quran pada umur 40 tahun. Jadi sebelum berumur 40 tahun nabi Muhammad tentu beragama dalam keyakinannya sendiri. Suatu keyakinan bahwa apa yang dilihatnya pada masyarakat Arab saat itu (Jahiliyah), tentang apa yang mereka sembah dan lakukan tidaklah benar. Itulah mengapa Nabi sering mengasingkan diri untuk merenungkan semua ini untuk mendapat petunjuk.
    Nabi Ibrahim pun demikian juga. Sebelum menjadi nabi beliau selalu mencari hakekat Tuhan sejati karena tidak didapatkan pada ajaran di masyarakatnya yang saat itu dikuasai Raja Namrud. Nabi Ibrahim selalu mencari siapa pencipta tertinggi. Dan selama pencarian itu beliau tak lepas dari ujian Allah.
    Nabi Musa yang dianggap sebagai cikal bakal pendiri agama Yahudi juga mengalami hal yang sama. Dimana beliau mulai mendapat pengajaran dari Tuhan setelah tumbuh dewasa. Terlebih setelah beliau membawa kaumnya keluar dari Israel dan mendapat 10 perintah Tuhan.
    Demikian pula dengan Budha yang merasa kekayaan dan gelar kebangsawanan tak membuatnya merasa tenang dan nyaman. Ibarat jika kita setiap hari diberi kekayaan dan kekuasaan maka hati kita akan merasa kosong dan perlu mendapat pencerahan. Itulah mengapa sang Budha melepas semua yang dipunyai dari kekayaan, keluarga dan kekuasaan untuk mencari pencerahan hakiki.
    Jika kita amati, para pendiri agama besar tak lepas dari pemikiran kritis atas yang terjadi di masyarakat sekitarnya saat itu. Selain itu kualitas pribadinya juga sangat berpengaruh. Misalnya nabi Muhamamd yang terkenal Jujur dan dapat dipercaya, hal ini merupakan modal beliau untuk dapat diangkat sebagai nabi Oleh Allah.
    Yesus (Nabi Isa)pun meski saat kecil sudah berbicara yang menegaskan bahwa beliau itu utusan Allah tetapi pada tahap perkembangannya baru mulai mengadakan pengajaran setelah beliau berumur 30-an tahun. Jadi apa yang dilakukan Yesus sebelum umur 30-an tahun (Bible tidak merincinya) tentu merujuk pada kualitas pribadi yang baik. Yang jelas seseorang diangkat menjadi utusan Allah karena memiliki pribadi yang paling baik pada saat itu diantara yang lain.

 

Rabu, 09 Februari 2011

ANALISA TRINITAS

BY:DAKWAH ISLAMI.

 Telah umum dalam pemahaman orang-orang Kristen bahwa Tuhan dikonsepkan menjadi 3 oknum yaitu : Tuhan Bapa Tuhan anak dan Tuhan Roh Kudus ; Dan ketiga-tiga oknum ini didalam keyakinan mereka merupakan sehakikat dan satu dalam kesatuannya.
Adanya kehadiran Jesus yg disebut sebagai Tuhan anak didalam salah satu unsur ke-Tuhanan Kristen tidak hanya dipandang sebagai kiasan namun lbh cenderung dalam arti yg sebenarnya. Oleh krn perkataan Tuhan anak disini digunakan dalam arti yg sebenarnya maka perkataan “Tuhan Bapa” disini seharusnya juga digunakan pula dalam arti “Bapa” yg sesungguhnya sebab dgn demikian pemahaman ini menjadi benar.
Namun hal ini akan menjadikan suatu hal yg mustahil utk dapat diterima oleh akal sehat.
Karena diri “anak” yg sebenarnya dari sesuatu adl mustahil akan memiliki suatu zat dgn diri sang “Bapa” yg sesungguhnya dari sesuatu itu juga.
Sebab pada ketika “zat” yg satu itu disebut anak tidak dapat ketika itu juga “zat” yg satu ini disebut sebagai Bapa. Begitupula sebaliknya yaitu pada ketika zat yg satu itu disebut sebagai Bapa tidak dapat ketika itu kita sebut zat yg sama ini sebagai anak dari Bapa itu.

Ketika zat yg satu ini kita sebut sebagai Bapa maka dimanakah zat anak ? Tentunya kita semua sepakat bahwa kata apapun yg kita pakai dalam membicarakan Tuhan itu semata sebagai pengganti kata DIA {yaitu kata ganti yg tentu saja memang ada kata yg digantikannya dan kata ZAT dalam konteks pembicaraan kita disini bukanlah kata zat yg dapat dibagi menjadi zat zair padat dan gas.
Oleh krn dunia Kristen memiliki konsep pluralitas Tuhan dalam satu zat maka disini telah terjadi suatu dilema yg sukar dan utk menjawab hal ini mereka selalu melarikan diri pada jawaban : “Misteri Tuhan yg sulit diungkapkan.” 

Suatu pernyataan yg mencoba menutupi ketidak berdayaan penganut Kristen didalam memberikan pemahaman mengenai doktrin keTuhanan mereka yg bertentangan dgn akal sehat.
Disatu sisi mereka memberikan kesaksian akan ke-Esaan dari Allah namun pada sisi lain mereka juga dipaksa utk menerima kehadiran unsur lain sebagai Tuhan selain Allah yg satu itu logikanya adalah jika disebut zat Tuhan Bapa lain dari zat Tuhan anak maka akan nyata pula bahwa Tuhan itu tidak Esa lagi tetapi sudah menjadi dua .
Begitu pula dgn masuknya unsur ketuhanan yg ketiga yaitu Roh Kudus sehingga semakin menambah oknum ketuhanan yg satu menjadi tiga oknum yg berbeda satu dgn yg lainnya sehingga mau tidak mau pengakuan tentang ke-Esaan Tuhan akan menjadi sirna.
Khusus mengenai diri Tuhan Roh Kudus sendiri didalam kitab Bible kadangkala digambarkan sebagai api sebagai burung dan lain sebagainya. Dan Tuhan Roh Kudus ini menurut kitab Perjanjian Lama sudah seringkali hadir ditengah-tengah manusia baik sebelum kelahiran Jesus masa keberadaan Jesus ditengah para murid-muridnya hingga masa-masa setelah ketiadaan Jesus pasca penyaliban.
Dan menghadapi hal ini kembali kita sebutkan bahwa unsur Tuhan sudah terpecah kedalam tiga zat yg berbeda. Sebab jika tetap dikatakan masih dalam satu zat maka ketika itu juga terjadilah zat Tuhan Bapa adl zat Tuhan anak kemudian zat Tuhan anak dan zat Tuhan Bapa itu adl juga zat dari Tuhan Roh Kudus.
Pertanyaannya sekarang sewaktu zat yg satu disebut Bapa dimanakah anak ? Dan sewaktu zat yg yg satu disebut sebagai Tuhan anak maka dimanakah Tuhan Bapa serta Tuhan Roh Kudus ? Oleh sebab itu haruslah disana terdapat tiga wujud Tuhan dalam tiga zat yg berbeda.
Sebab yg memperbedakan oknum yg pertama dgn oknum yg kedua adl ‘keanakan’ dan ‘keBapaan’. Sedang anak bukan Bapa dan Bapa bukan anak ! Jadi nyata kembali bahwa Tuhan sudah tidak Esa lagi.
Oleh krn itulah tiap orang yg mau mempergunakan akal pikirannya dgn baik dan benar akan menganggap bahwa ajaran Trinitas bukanlah bersifat Monotheisme atau meng-Esakan Tuhan melainkan lbh condong kepada paham Polytheisme .
Dengan begitu maka nyata sudah bahwa ajaran itu bertentangan dgn ajaran semua Nabi-nabi yg terdahulu yg mengajarkan bahwa Tuhan itu adl Esa dalam arti yg sebenarnya.

Kita dapati dari kitab Perjanjian Lama Perjanjian Baru sampai kepada kitab suci umat Islam yaitu al-Qur’an tidak didapati konsep pluralitas ketuhanan sebagaimana yg ada pada dunia Kristen itu sendiri.
Pada masanya Adam tidak pernah menyebut bahwa Tuhan itu ada tiga demikian pula dgn Abraham Daud Musa dan nabi-nabi sebelum mereka sampai pada Jesus sendiri juga tidak pernah mengajarkan asas ke-Tritunggalan Tuhan apalagi dgn apa yg diajarkan oleh Nabi Muhammad Saw.
Lebih jauh lagi bila kita analisa konsep Trinitas ini menyebutkan bahwa oknum Tuhan yg pertama terbeda dgn Ke-Bapaan krn itu ia disebut sebagai Tuhan Bapa sementara oknum Tuhan kedua terbeda dgn Keanakan yg lahir menjadi manusia bernama Jesus dalam pengertian singkatnya bahwa Tuhan anak baru ada setelah adanya Tuhan Bapa krn itu ia disebut sebagai sang anak.
Hal yg paling menarik lagi adl tentang oknum Tuhan ketiga yaitu Roh Kudus yg justru terbeda sifatnya dgn keluarnya bagian dirinya dari Tuhan Bapa dan Tuhan anak sehingga Bapa bukan anak dan anak bukan pula Bapak atau Roh Kudus.
Apabila sesuatu menjadi titik perbedaan sekaligus titik keistimewaan pada satu oknum maka perbedaan dan keistimewaan itu harus juga ada pada zat oknum tersebut. Misalnya satu oknum memiliki perbedaan dan keistimewaan menjadi anak maka zatnya harus turut menjadi anak.
Artinya zat itu adl zat anak sebab oknum tersebut tidak dapat terpisah daripada zatnya sendiri. Apabila perbedaan dan keistimewaan itu ada pada zatnya maka ia harus adapula pada zat Tuhan krn zat keduanya hanya satu.
Oleh krn sesuatu tadi menjadi perbedaan dan keistimewaan pada satu oknum maka ia tidak mungkin ada pada oknum yg lain.
Menurut misal tadi keistimewaan menjadi anak tidak mungkin ada pada oknum Bapa. Apabila ia tidak ada pada oknum Bapa maka ia tidak ada pada zatnya. Apabila ia tidak ada pada zatnya maka ia tidak ada pada zat Allah. Karena zat Bapa dgn zat Tuhan adl satu .
Dengan demikian terjadilah pada saat yg satu ada sifat keistimewaan tersebut pada zat Tuhan dan tidak ada sifat keistimewaan itu pada zat Tuhan.
Misalnya Tuhan anak lahir menjadi manusia. Apabila Tuhan anak menjadi manusia maka zat Tuhan Bapa harus menjadi manusia krn zat mereka satu . Namun kenyataannya menurut dunia kekristenan bahwa Tuhan Bapa tidak menjadi manusia. Dengan demikian berarti zat Tuhan Allah tidak menjadi manusia.
Maka pada saat zat Tuhan Allah akan disebut menjadi manusia dan zat Tuhan Allah tidak menjadi manusia maka ini menjadi dua yg bertentangan dan suatu konsep yg mustahil.
Ajaran Trinitas yg mengakui adanya Tuhan Bapa Tuhan anak dan Tuhan Roh Kudus hanya dapat dipelajari dan dapat diterima secara baik hanya jika dunia Kristen mendefenisikannya sebagai 3 sosok Tuhan yg berbeda dan terlepas satu sama lainnya dalam pengertian diakui bahwa Tuhan bukan Esa melainkan tiga .
Siapapun tidak akan menolak bahwa Tuhan bersifat abadi Alpha dan Omega tidak berawal dan tidak berakhir namun keberadaan Tuhan yg menjadi anak dan lahir dalam wujud manusia telah memupus keabadian sifat Tuhan didalam dunia Kristen krn nyata ada Bapa dan ada anak alias telah ada Tuhan pertama yg lbh dulu ada yg disebut sebagai Tuhan tertinggi dan ada pula Tuhan yg baru ada setelah Tuhan yg pertama tadi ada.
Akal manusia dapat membenarkan jika Bapa dalam pengertian yg sebenarnya harus lbh dahulu ada daripada anaknya.
Akal manusia akan membantah bahwa anak lbh dahulu daripada Bapa atau sang anak bersama-sama ada dgn Bapa sebab bila demikian adanya tentu tidak akan muncul istilah Bapa maupun anak.
Apabila Tuhan Bapa telah terpisah dgn Tuhan anak dari keabadiannya maka Tuhan anak itu tidak dapat disebut ‘diperanakkan’ oleh Tuhan Bapa. sebab Tuhan Bapa dan Tuhan anak ketika itu sama-sama abadi Alpha dan Omega sama-sama tidak berpermulaan dan tidak ada yg lbh dahulu dan yg lbh kemudian hadirnya.
Apabila ia disebut diperanakkan maka yg demikian menunjukkan bahwa ia adanya terkemudian daripada Bapa. Karena sekali lagi anak yg sebenarnya harus ada terkemudian daripada Bapa yg sebenarnya.
Apabila antara Tuhan Bapa serta Tuhan anak telah terbeda dari kekekalan maka Tuhan Roh Kudus pun telah terbeda pula dari kekekalannya masing-masing mereka bukan satu kesatuan tetapi 3 unsur yg berbeda.
Kenyataan ini justru didukung penuh oleh kitab Perjanjian Baru sendiri bukti pertama bisa kita baca dalam Injil karangan Matius pasal 3 ayat 16 sampai 17 :
“Sesudah dibaptis Jesus segera keluar dari air dan pada waktu itu juga langit terbuka dan ia melihat Roh Allah seperti burung merpati hinggap ke atasnya lalu terdengarlah suara dari sorga yg mengatakan: “Inilah Anak-Ku yg Kukasihi kepada-Nyalah Aku berkenan.”
Pada ayat diatas secara langsung kita melihat keberadaan 3 oknum dari zat Tuhan yg berbeda secara bersamaan yaitu satu dalam wujud manusia bernama Jesus dgn status Tuhan anak satu berwujud seperti burung merpati dan satunya lagi Tuhan Bapa sendiri yg berseru dari sorga dilangit yg sangat tinggi.
Dengan berdasar bukti dari pemaparan Matius diatas bagaimana bisa sampai dunia Kristen mempertahankan argumentasi paham Monotheisme didalam sistem ketuhanan mereka ?
Bukti lainnya yg menunjukkan perbedaan antara masing-masing zat Tuhan didalam dunia Kristen yg semakin membuktikan keterpisahan antara Tuhan yg satu dgn Tuhan yg lainnya dalam kemanunggalan mereka.
“Maka kata Jesus sekali lagi: Damai sejahtera bagi kamu! Sama seperti Bapa mengutus aku demikian juga sekarang aku mengutus kamu !; dan sesudah berkata demikian ia menghembusi mereka dan berkata: “Terimalah Roh Kudus” !.”
Ayat Johanes diatas sebagaimana juga Matius pasal 3 ayat 16 dan 17 memaparkan mengenai keterbedaan zat Tuhan anak dan Tuhan Roh Kudus sehingga semakin jelas bahwa antara Tuhan Bapa Tuhan anak dan Tuhan Roh Kudus tidak ada ikatan persatuan dan tidak dapat disebut Tuhan yg Esa masing-masing Tuhan memiliki pribadinya sendiri inilah sistem kepercayaan banyak Tuhan sebagaimana juga yg diyakini oleh orang-orang Yunani maupun Romawi tentang keragaman dewa-dewa mereka.
Konsep ini sama dgn konsep 3 makhluk bernama manusia ada si Amir sebagai Bapa ada si Jhoni sebagai anak dan adapula si Robin ketiganya berbeda pribadi namun tetap memiliki kesatuan yaitu satu dalam wujud sama-sama manusia tetapi apakah ketiganya sama ? Tentu saja tidak mereka tetaplah 3 orang manusia.
Tuhan Bapa Tuhan anak maupun Tuhan Roh Kudus adl sama-sama Tuhan namun mereka tetap 3 sosok Tuhan yg berbeda inilah sebenarnya konsep yg terkandung dalam paham Trinitas atau Tritunggal pada dunia Kristen.
Sebagai akhir dari Bab ini maka kita kemukakan dua hal penting lain sebagai pengantar pemikiran kritis bagi orang-orang yg meyakini ide Trinitas dan mempercayai akan kemanunggalan Jesus dgn Allah.
Pertama dunia Kristen Trinitas meyakini bahwa Jesus merupakan anak Tuhan sekaligus Tuhan itu sendiri yg lahir menjadi manusia utk menerima penderitaan diatas kayu salib demi menebus kesalahan Adam yg telah membuat jarak yg jauh antara Tuhan dgn manusia.
Sekarang bila memang demikian adanya bisakah anda menyatakan bahwa pada waktu penyaliban terjadi atas diri Jesus maka pada saat yg sama Tuhan Bapa telah ikut tersalibkan ?
Hal ini perlu diangkat sebagai acuan pemikiran yg benar bahwa ketika Tuhan telah memutuskan diri-Nya utk terlahir dalam bentuk manusia oleh perawan Mariah maka secara otomatis antara Jesus dgn Tuhan Bapa tidak berbeda yg disebut Jesus hanyalah phisik manusiawinya saja tetapi isi dari ruhnya adl Tuhan sehingga hal ini menjadikan diri Jesus disebut Tuhan anak,tapi ini tidak sesuai dengan kepercayaan Kristn yg menganggap Yesus memiliki 2 kepribadian,yang pertama sebagai 100% Tuhan dan yg kedua sebagai 100% manusia.Yesus sebagai Tuhan ketika dia tidak dalam wujud manusianya,sedangkan Yesus sebagai manusia 
dengan segala kelemahan dan ketidak mampuannya selama 33 tahun masa hidupnya.Jadi bukankah di awal tadi telah kita jelaskan bahwa antara Tuhan bapak dan Tuhan anak merupakn suatu kesatuan yang tak dapat dipisahkan,berrti ketika Yesus turun kedunia ini dalam wujud manusia seperti kita ini maka pada saat yangg bersamaan Tuhan bapak telah menjelama sebagai manusia juga.Apakah dalam masa 33 tahuin itu seluruh kehidupan di alm semesta ini berhenti total.Tentunya tidak bukan?.Hal ini menunjukkan bahwa Tuhan bapak dan Tuhan ank bukanlah suatu kesatuan,tapi merupakan dua oknum yang berbeda,sehingga Tuhan dalam agama Krsten bukanlah 1,tapi sudah menjadi 2 Tuhan.
Jadi logikanya sewaktu tubuh jasmaniah Jesus disalibkan maka zat Tuhan juga telah ikut tersalib artinya secara lbh gamblang Tuhan Bapa telah ikut disalib pada waktu bersamaan .
Pada waktu tubuh jasmani Jesus bercakap-cakap dgn para murid serta para sahabat lainnya maka pada waktu yg bersamaan sebenarnya Tuhan-lah yg melakukannya dibalik wadag tersebut.
Dan sekarang bila Jesus mengalami kejadian-kejadian tertentu seperti mengutuki pohon Ara krn rasa laparnya namun ia tidak menjumpai apa-apa disana selain daun maka hal ini menyatakan ketidak tahuan dari diri Jesus mengenai segala sesuatu dan implikasinya bahwa Tuhan yg mengisi jiwa dari wadag manusia Jesus pun bukanlah Tuhan yg sebenarnya sebab ia tidak bersifat maha mengetahui sedangkan pencipta alam semesta ini haruslah Tuhan yg mengenal ciptaan-Nya sekalipun itu dalam wujud makhluk paling kecil dan hitam yg tidak tampak secara kasat mata berjalan pada malam yg paling kelam sekalipun.
Dan pada waktu Jesus merasa sangat ketakutan sampai peluhnya membasahi sekujur tubuhnya bagaikan titik-titik darah yg berjatuhan ketanah maka pada saat yg sama kita menyaksikan Tuhan yg penuh kecacatan betapa tidak Tuhan justru frustasi dan kecewa sampai Dia mau mati akibat ketakutan-Nya kepada serangan para makhluk ciptaan-Nya sendiri yg seharusnya justru menjadi lemah dan bukan ancaman menakutkan dimata Tuhan.
Dan didetik-detik tersebut kita dapati pada Matius pasal 26 ayat 36 sampai 39 Jesus telah memanjatkan doa yg ditujukan kepada Tuhan. Sungguh suatu kejanggalan yg sangat nyata sekali betapa Tuhan telah menjadi makhluk dalam bentuk manusia dan Tuhan itu masih memerlukan bantuan dari pihak lain disinilah sebenarnya kita melihat kenyataan bahwa Jesus itu sendiri bukan Tuhan dia hanyalah makhluk dan sebagai makhluk maka seluruh dirinya terlepas dari unsur-unsur ketuhanan baik jasmani maupun rohaninya.
Karena itu dia pasti membutuhkan bantuan Tuhan yg sebenarnya Tuhan yg Maha Tahu Tuhan yg Maha Berkuasa atas segala sesuatu dari ciptaan-Nya serta Tuhan yg Maha Gagah.
Silahkan anda sebagai penganut paham Trinitas memikirkan hal-hal ini secara lbh kritis lagi. Adapun sekarang hal kedua yg ingin saya kemukakan sebagai penutup Bab pertama ini adl sehubungan kembali dgn dakwaan Trinitas akan kemanunggalan Jesus dgn Tuhan dan mereka itu dianggap sebagai satu kesatuan sehingga Jesus disebut sebagai Tuhan itu sendiri .
Dalam banyak kitab dan pasal pada Perjanjian Baru kita sebut saja misalnya Matius 26:64 Kisah Para Rasul 7:55-56 Roma 8:34 dan sebagainya telah disebut bahwa Jesus sebagai Tuhan anak telah duduk disebelah kanan Tuhan Bapa artinya mereka berdua merupakan dua Tuhan yg berbeda tidakkah ini menyalahi sendiri konsep kemanunggalan Jesus pada Tuhan Bapa yg diklaim oleh pihak Trinitas sendiri ?
Bukankah semakin jelas kita melihat ada dua Tuhan dan bukan satu Tuhan dan jika paham satu Tuhan disebut sebagai Tauhid atau Monotheisme maka sistem banyak Tuhan disebut sebagai Pluralisme Tuhan atau Polytheisme.
Semoga hal ini bisa membawa anda kepada pemikiran yg benar logis serta penuh kedamaian kembali kepada ajaran yg bisa anda terima secara lurus.. ISLAM.


Minggu, 06 Februari 2011

ANTARA TAKDIR DAN KEBEBASAN.

BY DAKWAH ISLAMI.

Dalam pembicaraan sehari-hari kata “takdir” cenderung difahami sebagai kepastian yang mesti disikapi dengan kepsrahan, tidak perlu dinalar secara kritis,karena takdir adalah ketetapan Allah SWT. yang pasti terjadi.Tapi sesungguhnya ini tidak seleruhnya benar,mengapa?.Ini karena jika kita membaca Al-Qur’an, banyak ditemukan kata takdir yang jika dicermati maknanya menunjuk pada hukum alam yang mengandung hukum kasulaitas, sebab-akibat.
Takdir adalah ketentuan, ukuran dan kapastian yang telah ditetapkan Tuhan yang berlaku pada isi semesta ini. Contoh yang paling mudah adalah bunyi ayat Al-Qur’an (36:38) yang menyatakan, matahari dan bulan berputar pada garis edarnya, dan itu merupakan takdir Tuhan. Dalam ayat-ayat yang lain, kata takdir memiliki makna sangat berdekatan, bahwa takdir berarti ketentuan Tuhan yang berlaku pada perilaku alam. Karena adanya takdir atau kepastian perilaku alam inilah maka ilmu pengetahuan alam menjadi berkembang dan berdiri kokoh. Kalau saja perilaku alam tidak memiliki kepastian sehingga sulit diprediksi, maka manusia sulit mengembangkan iptek moderen, karena iptek berjalan berdasarkan adanya hukum atau sifat alam yang serba pasti. Kata pasti tentu mesti dibedakan dari kata mutlak, absolut.
Ilmu falaq yang menghasilkan kalender sebagai pedoman hari, bulan dan tahun dimungkinkan karena adanya ketetapan atau keajegan peredaran bulan dan matahari yang semua itu merupakan takdir atau kepastian dari Tuhan. Al-Qur’an menyebutkan, Dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya (QS al-Furqan : 2). Misalnya, Allah menciptakan air dan menciptakan takdirnya, mencakup sifatnya yang kalau dipanaskan menguap, kalau didinginkan menjadi beku. Juga takdir air mengalir dari tempat yang tinggi ke tempat yang rendah. Tuhan juga mentakdirkan  angin yang memiliki kekuatan daya dorong sehingga walaupun air berada di tempat  rendah jika dipompa secara keras maka akan naik ke atas. Semuanya ini berlangsung mengikuti takdir Tuhan.
Contoh lain, manusia ditakdirkan tidak bisa terbang seperti burung. Namun karena anak-anak Adam ditakdirkan memiliki kapasitas ilmu maka manusia bisa menciptakan pesawat yang terbang bagaikan burung. Manusia ditakdirkan tidak bisa hidup di air bagaikan ikan. Namun dengan kemampuan takdir yang melekat pada manusia, manusia berhasil menciptakan kapal selam.
Demikianlah, jadi untuk melaksanakan mandat sebagai khalifah Tuhan di muka bumi manusia diberi kemampuan sebagai manager mengolah takdir, terutama melalui perangkat ilmu pengetahuan untuk memahami hukum sebab-akibat yang telah ditakdirkan Tuhan pada setiap ciptaaanNya. Dengan ilmu pengetahuan manusia mengidentifikasi sifat dan perilaku alam, kemudian mengaturnya. Misalnya, manusia mempertemukan bahan bakar dan api, maka muncul tenaga sehingga bisa menggerakkan mesin mobil atau paberik. Atau mempertemukan panas dan air dalam panci yang diisi beras, maka jadilah nasi. Inilah yang dimaksud manusia sebagai manajer takdir.
Jadi di sinilah mengapa Tuhan berfirman  “Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya,” (QS al-Baqarah : 31). Dengan mengenal sifat benda-benda di sekitarnya maka manusia membuat klasifikasi dan identifikasi takdir yang melekat pada benda-benda itu untuk didayagunakan demi memenuhi kebutuhan manusia. Dengan demikian, mengelola takdir ibarat main catur, pemain memiliki kebebasan untuk menggelola dan menggerakkan pion-pionnya di atas papan catur, namun gerakan dan aturannya sudah pasti, tidak bisa dirubah.
Begitulah halnya dengan kehidupan. Tuhan telah menciptakan takdir yang serba pasti di atas papan semesta ini, namun manusia dianugerahi nalar dan kebebasan untuk memahami takdir-takdir Tuhan lalu memilih perbuatan atau karya apa yang akan dibuatnya.
Takdir perlu dibedakan dari musibah, meski terdapat keterkaitan. Musibah artinya suatu kejadian yang tidak diinginkan menimpa seseorang. Jika lempengan perut bumi patah lalu terjadi gempa, di situ berlaku takdir Tuhan, bahwa daya tahan lempeng bumi ada batasnya. Batas atau ukuran itu juga disebut takdir. Di situ berlaku hukum sebab akibat. Yang menjadi persoalan adalah ketika seseorang berada dalam waktu dan tempat yang secara lahiriah salah, sehingga terkena musibah. Gempanya sendiri merupakan fenomena alam, berlaku hukum sebab-akibat mengapa terjadi gempa.
Tetapi jika manusia sudah tahu di situ dikenal sebagai daerah gempa, namun tidak mau pindah, maka anugerah kebebasan yang dimiliki tidak dimanfaatkan untuk menjauhi musibah gempa. Jika seseorang sama sekali tidak tahu, atau sudah berusaha maksimal namun musibah terjadi, maka di situlah kita mesti bersangka baik pada takdir dan musibah yang menimpa seseorang. Di situ ada hukum sebab-akibat yang kita tidak tahu, dan sebaiknya kita sikapi dengan pasrah dan ikhlas, semuanya dikembalikan pada Tuhan Pemilik kehidupan.
Orang Jepang mungkin merupakan contoh bagaimana mereka berkompromi dan mengelola takdir, berkaitan dengan sifat alamnya yang sering gempa. Karena di Jepang kerap terjadi gempa bumi, maka dibuatlah rumah-rumah kayu tahan gempa agar tidak roboh. Artinya mereka sudah memahami dan bersahabat dengan takdir alamnya yang seringkali gempa. Jadi, alamnya  ditakdirkan sering gempa, lalu dengan takdir Tuhan yang telah memberi akal maka mereka mensiasati agar gempa tidak mendatangkan musibah.
Contoh lain adalah bangunan tinggi yang mudah terancam petir. Maka langkah komprominya dengan memberi penangkal petir, entah itu bangunan masjid, paberik atau bangunan lain. Demikian kalau ada musibah manusia tidak dibenarkan terus menyerahkan atau menyalahkan Tuhan. Contoh lain, perut telah ditakdirkan Tuhan kemampuan daya tampungnya. Kalau manusia tidak mentaati takdir kapasitas perut lalu makan tanpa batas, maka musibah akan terjadi.
Demikianlah seterusnya, manusia tidak bisa keluar dari takdir, karena semua ciptaan Tuhan telah ditentukan sifatnya sehingga manusia diminta memahaminya agar tidak terjadi musibah. Kalau pun terjadi musibah, itu pun ada hukum sebab-akibatnya, namun ada yang kita ketahui dan ada yang kita tidak sanggup mengetahui penyebabnya.
Ada peristiwa yang jarak sebab dengan akibatnya begitu pendek sehingga kita cepat memahami. Misalnya ketika tangan terkena duri, maka jarak  sebab dan akibatnya berupa sakit langsung kelihatan. Ada yang jaraknya agak lama, jika semalam kurang tidur maka akibatnya di siang hari kurang sehat. Ada lagi yang tahunan, jika sewaktu muda tidak belajar dan malas, maka akibatnya di hari tua akan bodoh dan miskin.
Yang manusia sering lupa dan terlena adalah sebab-akibat yang berlaku di dunia dan akhirat. Akibat dari aktivitas  di dunia baru akan dijumpai di akhirat nanti. Karena masih nanti, dan belum dialami, maka manusia mudah meremehkan. Pada hal itu termasuk takdir, hukum sebab-akibat yang pasti, namun kita sering meragukan bahkan menafikan. Di situlah manusia memiliki kebebasan, apakah akan beriman ataukah akan mengingkari, Tuhan memberi ruang kebebasan, namun seseorang tidak akan bisa lari dari akibat pilihannya.
DALAM pembicaraan sehari-hari kata “takdir” cenderung difahami sebagai kepastian yang mesti disikapi dengan kepsrahan, tidak perlu dinalar secara kritis. Namun kalau kita membaca Al-Qur’an, banyak ditemukan kata takdir yang kalau dicermati maknanya menunjuk pada hukum alam yang mengandung hukum kasulaitas, sebab-akibat.Takdir adalah ketentuan, ukuran dan kapastian yang telah ditetapkan Tuhan yang berlaku pada isi semesta ini. Contoh yang paling mudah adalah bunyi ayat Al-Qur’an (36:38) yang menyatakan, matahari dan bulan berputar pada garis edarnya, dan itu merupakan takdir Tuhan. Dalam ayat-ayat yang lain, kata takdir memiliki makna sangat berdekatan, bahwa takdir berarti ketentuan Tuhan yang berlaku pada perilaku alam. Karena adanya takdir atau kepastian perilaku alam inilah maka ilmu pengetahuan alam menjadi berkembang dan berdiri kokoh. Kalau saja perilaku alam tidak memiliki kepastian sehingga sulit diprediksi, maka manusia sulit mengembangkan iptek moderen, karena iptek berjalan berdasarkan adanya hukum atau sifat alam yang serba pasti. Kata pasti tentu mesti dibedakan dari kata mutlak, absolut.
Ilmu falaq yang menghasilkan kalender sebagai pedoman hari, bulan dan tahun dimungkinkan karena adanya ketetapan atau keajegan peredaran bulan dan matahari yang semua itu merupakan takdir atau kepastian dari Tuhan. Al-Qur’an menyebutkan, Dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya (QS al-Furqan : 2). Misalnya, Allah menciptakan air dan menciptakan takdirnya, mencakup sifatnya yang kalau dipanaskan menguap, kalau didinginkan menjadi beku. Juga takdir air mengalir dari tempat yang tinggi ke tempat yang rendah. Tuhan juga mentakdirkan  angin yang memiliki kekuatan daya dorong sehingga walaupun air berada di tempat  rendah jika dipompa secara keras maka akan naik ke atas. Semuanya ini berlangsung mengikuti takdir Tuhan.
Contoh lain, manusia ditakdirkan tidak bisa terbang seperti burung. Namun karena anak-anak Adam ditakdirkan memiliki kapasitas ilmu maka manusia bisa menciptakan pesawat yang terbang bagaikan burung. Manusia ditakdirkan tidak bisa hidup di air bagaikan ikan. Namun dengan kemampuan takdir yang melekat pada manusia, manusia berhasil menciptakan kapal selam.
Demikianlah, jadi untuk melaksanakan mandat sebagai khalifah Tuhan di muka bumi manusia diberi kemampuan sebagai manager mengolah takdir, terutama melalui perangkat ilmu pengetahuan untuk memahami hukum sebab-akibat yang telah ditakdirkan Tuhan pada setiap ciptaaanNya. Dengan ilmu pengetahuan manusia mengidentifikasi sifat dan perilaku alam, kemudian mengaturnya. Misalnya, manusia mempertemukan bahan bakar dan api, maka muncul tenaga sehingga bisa menggerakkan mesin mobil atau paberik. Atau mempertemukan panas dan air dalam panci yang diisi beras, maka jadilah nasi. Inilah yang dimaksud manusia sebagai manajer takdir.
Jadi di sinilah mengapa Tuhan berfirman  “Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya,” (QS al-Baqarah : 31). Dengan mengenal sifat benda-benda di sekitarnya maka manusia membuat klasifikasi dan identifikasi takdir yang melekat pada benda-benda itu untuk didayagunakan demi memenuhi kebutuhan manusia. Dengan demikian, mengelola takdir ibarat main catur, pemain memiliki kebebasan untuk menggelola dan menggerakkan pion-pionnya di atas papan catur, namun gerakan dan aturannya sudah pasti, tidak bisa dirubah.
Begitulah halnya dengan kehidupan. Tuhan telah menciptakan takdir yang serba pasti di atas papan semesta ini, namun manusia dianugerahi nalar dan kebebasan untuk memahami takdir-takdir Tuhan lalu memilih perbuatan atau karya apa yang akan dibuatnya. Kalau seseorang memilih loncat dari bangunan tinggi, maka tubuh akan hancur, kepala akan pecah. Itulah hukum alam, itulah takdir yang ditetapkan Tuhan. Yang menjadi persoalan, mengapa seseorang mesti loncat bunuh diri, di situlah terletak ruang kebebasan yang dimiliki manusia untuk membuat pilihan.
Takdir perlu dibedakan dari musibah, meski terdapat keterkaitan. Musibah artinya suatu kejadian yang tidak diinginkan menimpa seseorang. Jika lempengan perut bumi patah lalu terjadi gempa, di situ berlaku takdir Tuhan, bahwa daya tahan lempeng bumi ada batasnya. Batas atau ukuran itu juga disebut takdir. Di situ berlaku hukum sebab akibat. Yang menjadi persoalan adalah ketika seseorang berada dalam waktu dan tempat yang secara lahiriah salah, sehingga terkena musibah. Gempanya sendiri merupakan fenomena alam, berlaku hukum sebab-akibat mengapa terjadi gempa.
Tetapi jika manusia sudah tahu di situ dikenal sebagai daerah gempa, namun tidak mau pindah, maka anugerah kebebasan yang dimiliki tidak dimanfaatkan untuk menjauhi musibah gempa. Jika seseorang sama sekali tidak tahu, atau sudah berusaha maksimal namun musibah terjadi, maka di situlah kita mesti bersangka baik pada takdir dan musibah yang menimpa seseorang. Di situ ada hukum sebab-akibat yang kita tidak tahu, dan sebaiknya kita sikapi dengan pasrah dan ikhlas, semuanya dikembalikan pada Tuhan Pemilik kehidupan.
Orang Jepang mungkin merupakan contoh bagaimana mereka berkompromi dan mengelola takdir, berkaitan dengan sifat alamnya yang sering gempa. Karena di Jepang kerap terjadi gempa bumi, maka dibuatlah rumah-rumah kayu tahan gempa agar tidak roboh. Artinya mereka sudah memahami dan bersahabat dengan takdir alamnya yang seringkali gempa. Jadi, alamnya  ditakdirkan sering gempa, lalu dengan takdir Tuhan yang telah memberi akal maka mereka mensiasati agar gempa tidak mendatangkan musibah.
Contoh lain adalah bangunan tinggi yang mudah terancam petir. Maka langkah komprominya dengan memberi penangkal petir, entah itu bangunan masjid, paberik atau bangunan lain. Demikian kalau ada musibah manusia tidak dibenarkan terus menyerahkan atau menyalahkan Tuhan. Contoh lain, perut telah ditakdirkan Tuhan kemampuan daya tampungnya. Kalau manusia tidak mentaati takdir kapasitas perut lalu makan tanpa batas, maka musibah akan terjadi.
Demikianlah seterusnya, manusia tidak bisa keluar dari takdir, karena semua ciptaan Tuhan telah ditentukan sifatnya sehingga manusia diminta memahaminya agar tidak terjadi musibah. Kalau pun terjadi musibah, itu pun ada hukum sebab-akibatnya, namun ada yang kita ketahui dan ada yang kita tidak sanggup mengetahui penyebabnya.
Ada peristiwa yang jarak sebab dengan akibatnya begitu pendek sehingga kita cepat memahami. Misalnya ketika tangan terkena duri, maka jarak  sebab dan akibatnya berupa sakit langsung kelihatan. Ada yang jaraknya agak lama, jika semalam kurang tidur maka akibatnya di siang hari kurang sehat. Ada lagi yang tahunan, jika sewaktu muda tidak belajar dan malas, maka akibatnya di hari tua akan bodoh dan miskin.
Yang manusia sering lupa dan terlena adalah sebab-akibat yang berlaku di dunia dan akhirat. Akibat dari aktivitas  di dunia baru akan dijumpai di akhirat nanti. Karena masih nanti, dan belum dialami, maka manusia mudah meremehkan. Pada hal itu termasuk takdir, hukum sebab-akibat yang pasti, namun kita sering meragukan bahkan menafikan. Di situlah manusia memiliki kebebasan, apakah akan beriman ataukah akan mengingkari, Tuhan memberi ruang kebebasan, namun seseorang tidak akan bisa lari dari akibat pilihannya.